Tari Linda ( muna )
> Tarian ini merupakan peragaan dari upacara adat karia
yakni upacara pingitan gadis-gadis menjelang dewasa dan memasuki bahtera rumah
tangga. Uniknya Tarian ini, ditengah lingkaran di pertunjukan seni beladiri
Balaba atau sejenis silat tradisional. Para pesilat saling menunjukkan
ketangkasan dan keahliannya, mereka memukul dengan keras dan menendang dengan
kekuatan, membentuk gerakan indah bermakna kejantanan yang mempesona. Jika anda
penasaran datanglah ke Pulau Muna yang terkenal pula dengan pesona sejarahnya
Hingga sekarang tarian ini tetap lestari dan kini umumnya disuguhkan kepada
para tamu maupun wisatawan yang berkunjung ke Sulawesi Tenggara khususnya di
Pulau Muna.
LULO (kendari)Tarian Malulo atau Lulo (dari bahasa tolaki:
Molulo), merupakan salah satu jenis kesenian tari tradisional dari daerah
Sulawesi Tenggara Indonesia.Adapun filosofi tarian “lulo” adalah persahabatan,
yang biasa ditujukan kepada muda-mudi suku Tolaki sebagai ajang perkenalan,
mencari jodoh, dan mempererat tali persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan
posisi saling bergandengan tangan dan membentuk sebuah lingkaran. Peserta
tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun golongan, siapa saja boleh turut
serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua, muda boleh bahkan jika anda bukan
suku Tolaki atau dari negara lain bisa bergabung dalam tarian ini, yang penting
adalah bisa mengikuti gerakan tarian ini. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan
di bawah menopang tangan wanita. Posisi tangan ini merupakan simbolisasi dari
kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam kehidupan.Yang terpenting dari semua itu adalah arti dari
tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah
masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam
menjalani kehidupannya. Seperti filosofi masyarakat Tolaki yang diungkapkan
dalam bentuk pepatah samaturu, medulu ronga mepokoaso, yang berarti
masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu bersatu,
bekerja sama, saling tolong–menolong dan bantu-membantuDi Kendari (Sulawesi Tenggara – Indonesia)
terdapat beberapa suku. Suku tolaki sebagai salah satu suku yang berada di
daerah ini memiliki beberapa tarian tradisional , salah satu tarian tradisional
yang masih sering dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang
disebut tarian Lulo.Pada zaman dulu, tarian ini dilakukan pada
upacara-upacara adat seperti : pernikahan, pesta panen raya dan upacara
pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong. Tarian ini
dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang saling berpegangan
tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah lingkaran. Gong yang
digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran dan jenis suara.
Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan , gong sebagai alat musik pengiring
tarian lulo telah digantikan dengan alat musik modern yaitu “Electone”.
TARI KALEGOA(
BUTON )Tarian
ini adalah suatu tari tradisional yang menggambarkan suka duka gadis-gadis
Buton sewaktu dalam pingitan dengan spesifikasi berupa gerakan memakai sap
tangan.
Sudah menjadi suatu tradisi sejak zaman lampau
seorang gadis yang menjelang dewasa haruslah menjalani masa Pingitan / Posuo.
Selama 8 (delapan) hari 8 (delapan) malam.
Posuo sebagai suatu arena tempaan adat bagi mereka
yang diikat dengan aturan dan tata krama serta sopan santun yang ketat untuk
meninggalkan masa kegadisan bebas dan gembira karena telah dewasa dalam tempaan
serta siap menerima kenyataan hidup.
TARI MANGARU(
BUTON )Tarian
ini menggambarkan kobaran semangat ksatria yang lincah dan gesitnya menggunakan
parang, keris, tombak dan senjata lainnya di medan perang. Dengan Konsentrasi
yang penuh serta ketajaman hati dan pikiran akan mampu mematahkan keampuhan
senjata lawan. Tarian ini apabila ditampilkan selalu diawali dengan WORE sebagai
pembakar semangat akan kecintaan dan kesetiaan terhadap tanah leluhur. Tari ini
biasanya dipertontonkan pada saat musim tanam-tanaman yang syukuran hasil
panen. Namun, saat ini lebih sering ditampilkan sebagai tari penyambutan tamu.
Tari
Lulo Alu yang merupakan tarian khas masyarakat Kabaena. Tarian ini dibawakan 12
penari yang dibagi atas dua peranan. Delapan penari putra memegang alu (Penumbu
Padi) yang menggambarkan pria yang menumbuh padi dan empat orang penari
perempuan memagang nyiru sebagai alat penapis beras, ditambah sapu tangan yang
menggambarkan proses penapisan.Tari tersebut memiliki kaitan erat dengan
Kesultanan Buton. Katanya, pada zaman dahulu Kabaena merupakan bagian dari
Kesultanan Buton dan penghasil beras sebagai pilar penguat Kesultanan Buton
yang jaya pada masanya. Oleh karena daerah tersebut merupakan penghasil beras
yang sangat signifikan maka putra Kabaena berinisiatif menciptakan tari
tersebut sebagai tarian yang melambangkan kesukuran kepada tuhan yang maha esa atas
melimpahnya rezki dari hasil panen.Dilihat dari gerakan yang dilakukan penari, tari
lulo alu sesungguhnya simbolisasi kepemimpinan. Pasalnya, gerakan yang
digunakan sangat energik yang berarti untuk mencapai hasil yang maksimal
diperlukan energi yang tinggi. Pakaian yang digunakan dalam tari tersebut
merupakan ciri khas Kabaena yang memiliki kaitan erat dengan pakaian adat
Buton. Misalnya dasar pakaian yang berwarna hitam ditambah warna
kekuning-kuningan dan kemerah-kemerahan.Kabaena memang memiliki kaitan erat dengan Pulau
Buton. Bahkan daerah ini memang sulit terpisahkan dengan Buton.
TARI LUMENSE(BOMBANA)Lumense
berasal dari kata Lume yang berarti terbang dan Mense yang berarti itinggi,
jadi Lumense berarti terbang tinggi. Tarian ini berasal dari Kecamatan Kabaena
Kabupaten Bombana. Makna dari tarian ini adalah pemujaan pada sang Dewa. Tarian
ini dipersembahkan pada upacara penyambutan tamu pesta-pesta rakyat di
Kabupaten Bombana.Tari Lumense, tari dari Poso yang merupakan tarian selamat
datang untuk menyambut tamu agung.Tarian
ini menampilkan sejumlah simbol perilaku sosial masyarakat tradisional di
Kabaena, salah satu pulau besar setelah Buton dan Muna di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Klimaks dari tarian ini adalah sebagian penari menghunus parang
tajam, lalu batang-batang pisang pun rebah ke tanah!
Tarian
ini menampilkan sejumlah simbol perilaku sosial masyarakat tradisional di
Kabaena, salah satu pulau besar setelah Buton dan Muna di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Klimaks dari tarian ini adalah sebagian penari menghunus parang
tajam, lalu batang-batang pisang pun rebah ke tanah!Seperti kebanyakan seni tari
tradisional yang masih orisinal, tarian lumense kurang mengeksplorasi tubuh
melalui gerakan-gerakan yang dapat lebih mengekspresikan simbol-simbol
keseharian masyarakat pendukung kesenian tersebut.Gerak para penari hanya mengandalkan
gerakan dasar dengan dukungan irama musik dari tetabuhan gendang dan bunyi gong
besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu). Namun, secara artistik, gerak
tari lumense tetap memenuhi kriteria tontonan.Terdapat tiga penabuh gendang,
tawa-tawa, dan ndengu-ndengu yang bertugas membunyikan instrumennya, sebaris
penari, dan anakan pohon pisang dalam jarak tertentu. Jumlah pohon disesuaikan
dengan jumlah pemain ”putra”.Kelompok penari lumense biasanya
berjumlah 12 wanita muda: enam berperan sebagai pemain putra, dan sisanya
sebagai putri. Semua pemain menggunakan busana adat Kabaena dengan rok berwarna
merah maron. Baju atasnya hitam. Baju ini disebut taincombo, yang bagian bawah
mirip ikan duyung.Khusus para penari lumense, taincombo
dipadu dengan selendang merah. Kelompok putra ditandai adanya korobi (sarung
parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri. Parang atau ta-owu
yang disarungkan di korobi dibuat khusus oleh pandai besi lokal dan selalu
diasah agar matanya tetap tajam.Tarian ini diawali gerakan-gerakan
maju mundur, bertukar tempat, kemudian saling mencari pasangan. Gerakan
mengalir terus hingga membuat konfigurasi leter Z, lalu diubah lagi menjadi
leter S. Pada tahap ini ditampilkan gerakan lebih dinamis yang disebut momaani
(ibing).Pada saat itu tarian ini akan terasa
amat menegangkan. Pasalnya, parang telah dicabut dari sarungnya dan diarahkan
ke kepala penari putri sambil masih terus momaani. Dalam sekejap parang itu
kemudian ditetakkan (ditebaskan) ke batang pisang. Dalam sekali ayun semua
pohon pisang rebah bersamaan.Tarian lumense ditutup dengan sebuah
konfigurasi berbentuk setengah lingkaran. Pada episode ini para penari membuat
gerakan tari lulo, dengan jari yang saling mengait sedemikian rupa sehingga
telapak tangan masing-masing saling bertaut, lalu secara bersama digerakkan
turun-naik untuk mengimbangi ayunan kaki yang mundur-maju.Ada
pula pihak-pihak yang menyebut tarian lumense tidak ramah lingkungan, itu hanya
karena menampilkan adegan menebas pohon pisang. Namun, bagi masyarakat Kabaena,
pohon pisang tidak bisa diganti dengan properti lain. Pasalnya, pohon pisang
dipersonifikasikan sebagai bencana yang harus dicegah.Bencana bisa dalam bentuk banjir,
tanah longsor, wabah penyakit, dan kerusuhan sosial. Maka, ketika pohon pisang
telah rebah, artinya bencana telah dapat dicegah, dan warga pun akan hidup
dalam suasana yang aman dan tenteram.
TARI LARIANGI(
wakatobi )Tari Lariangi merupakan bentuk tarian hiburan bagi masyarakat
Wakatobi, tarian ini biasanya dimainkan oleh dua belas orang gadis remaja desa
setempat. Tarian ini sangat eksotik terutama kostumnya. Nama kostum tarian ini
sama dengan nama tarian yaitu Lariangi. Tarian ini dilakukan sambil bernyanyi.
Dahulu tarian ditampilkan untuk menyambut para tamu kerajaan.
Dulunya, Lariangi dimainkan di istana raja yang
berfungsi sebagai penerangan. Karena itu, Lariangi diwujudkan dalam gerakan dan
nyanyian. Mereka bernyanyi dengan menggunakan bahasa Kaledupa kuno. Saat ini,
bahasa ini sudah tidak dipergunakan dalam percakapan sehari-hari.
Lariangi terdiri dari dua suku kata. Lari dan
Angi. Lari berarti menghias atau mengukir. Angi berarti orang-orang yang
berhias dengan berbabagai ornamen untuk menyampaikan informasi, dengan maksud
untuk memberikan nasehat. Bisa juga menjadi hiburan dengan gerakan tari dan
nyanyian.
Sebagai perwujudan dari Lari adalah pakaian para
penari yang terdiri dari kain, manik-manik, hiasan sanggul, logam berukir untuk
gelang, kalung, dan hiasan sarung. Misalnya saja, hiasan sanggul yang dinamakan
pantau seperti sebuah radar. Atau hiasan rambut yang rumit sekali membuatnya.
Hanya orang tertentu yang bisa membuat hiasan rambut ini. Angi diwujudkan dalam
bentuk gerakan dan nyanyian.
Tari ini bedurasi 10 menit. Selama sepuluh menit
in, kami akan melihat sepuluh orang perempuan cantik menari dan bernyanyi.
Tarian didominasi oleh gerakan duduk dan melingkar dengan mengibaskan lenso
atau kipas.
Klimaks tarian ini ada di akhir. Yaitu gerakan
yang dinamakan dengan nyibing. Nyibing dilakukan oleh dua orang penari lelaki.
Mereka menari mengelilingi dua orang penari perempuan. Ini mengandung maksud,
para lelaki, dalam kondisi apapun harus tetap melindungi para perempuan.
Tari
Modinggu ( kolaka )Menurut mitos masyarakat tolaki padi itu berasal dari jasad
putri bidadari yang ketujuh yang mana turun kebumi. Setelah panen, sebagai
ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa masyarakat Tolaki mengadakan
sejenis Pesta Rakyat yang akan dihadiri oleh seluruh masyarakat yang berada
ditempat itu.Untuk memperoleh beras yang cukup banyak maka diadakanlah
MODINGGU, atau semacam pekerjaan massal untuk menumbuh padi yang dilakukan
muda-mudi dikala senja sampai malam hari yang diterangi oleh sinar rembulan,
dan akhiri lulo bersama guna melepas lelah setelah seharian bekerja keras.Walaupun proses menumbuk padi merupakan pekerjaan
melelahkan namun pemuda/pemudi enjoy
mengerjakan. Dinggu merupakan sentuhan alu yang dimainkan oleh pemuda/
pemudi sehingga membentuk alunan irama yang begitu indah untuk didengar serta
gerakan yang cukup unik dinamis lincah dan enerjit nuansa keindahan gerakan tersebut di aplikasikan melalui
tarian yang disebut tari modinggu. Tarian ini mewakili Sulawesi Tenggara dalam ajang Festival
Kemilau Sulawesi 2007 Di Manado Sulawesi Utara sekaligus mendapat penghargaan
sebagai tarian berpenampilan terbaik pada Festival Kemilau Sulawesi tersebut.