Minggu, 20 Januari 2013

kebudayaan sultra


Tari Linda ( muna )
> Tarian ini merupakan peragaan dari upacara adat karia yakni upacara pingitan gadis-gadis menjelang dewasa dan memasuki bahtera rumah tangga. Uniknya Tarian ini, ditengah lingkaran di pertunjukan seni beladiri Balaba atau sejenis silat tradisional. Para pesilat saling menunjukkan ketangkasan dan keahliannya, mereka memukul dengan keras dan menendang dengan kekuatan, membentuk gerakan indah bermakna kejantanan yang mempesona. Jika anda penasaran datanglah ke Pulau Muna yang terkenal pula dengan pesona sejarahnya Hingga sekarang tarian ini tetap lestari dan kini umumnya disuguhkan kepada para tamu maupun wisatawan yang berkunjung ke Sulawesi Tenggara khususnya di Pulau Muna. 




LULO (kendari)Tarian Malulo atau Lulo (dari bahasa tolaki: Molulo), merupakan salah satu jenis kesenian tari tradisional dari daerah Sulawesi Tenggara Indonesia.Adapun filosofi tarian “lulo” adalah persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-mudi suku Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat tali persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan posisi saling bergandengan tangan dan membentuk sebuah lingkaran. Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun golongan, siapa saja boleh turut serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua, muda boleh bahkan jika anda bukan suku Tolaki atau dari negara lain bisa bergabung dalam tarian ini, yang penting adalah bisa mengikuti gerakan tarian ini. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang tangan wanita. Posisi tangan ini merupakan simbolisasi dari kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam kehidupan.Yang terpenting dari semua itu adalah arti dari tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalani kehidupannya. Seperti filosofi masyarakat Tolaki yang diungkapkan dalam bentuk pepatah samaturu, medulu ronga mepokoaso, yang berarti masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu bersatu, bekerja sama, saling tolong–menolong dan bantu-membantuDi Kendari (Sulawesi Tenggara – Indonesia) terdapat beberapa suku. Suku tolaki sebagai salah satu suku yang berada di daerah ini memiliki beberapa tarian tradisional , salah satu tarian tradisional yang masih sering dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang disebut tarian Lulo.Pada zaman dulu, tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti : pernikahan, pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang saling berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah lingkaran. Gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran dan jenis suara. Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan , gong sebagai alat musik pengiring tarian lulo telah digantikan dengan alat musik modern yaitu “Electone”.



TARI KALEGOA( BUTON )Tarian ini adalah suatu tari tradisional yang menggambarkan suka duka gadis-gadis Buton sewaktu dalam pingitan dengan spesifikasi berupa gerakan memakai sap tangan.
Sudah menjadi suatu tradisi sejak zaman lampau seorang gadis yang menjelang dewasa haruslah menjalani masa Pingitan / Posuo. Selama 8 (delapan) hari 8 (delapan) malam.
Posuo sebagai suatu arena tempaan adat bagi mereka yang diikat dengan aturan dan tata krama serta sopan santun yang ketat untuk meninggalkan masa kegadisan bebas dan gembira karena telah dewasa dalam tempaan serta siap menerima kenyataan hidup.https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmoJVarR09Jop-wI4FELBWGyRz5Iu2dBB_bzytUv7QTQVioLoqsJpcTruf7k5BdferXSHoziUWifu1OUcZu6IzTkIlXHsAPhbv5M23FKPwyQogJCeOr9LVeeh7HtuWIcc80NiXIapMpsWZ/s320/Tari+Kalegoa+-+Buton+3.jpg.jpg


TARI MANGARU( BUTON )Tarian ini menggambarkan kobaran semangat ksatria yang lincah dan gesitnya menggunakan parang, keris, tombak dan senjata lainnya di medan perang. Dengan Konsentrasi yang penuh serta ketajaman hati dan pikiran akan mampu mematahkan keampuhan senjata lawan. Tarian ini apabila ditampilkan selalu diawali dengan WORE sebagai pembakar semangat akan kecintaan dan kesetiaan terhadap tanah leluhur. Tari ini biasanya dipertontonkan pada saat musim tanam-tanaman yang syukuran hasil panen. Namun, saat ini lebih sering ditampilkan sebagai tari penyambutan tamu.https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqxPn3Ut9cWeUCSbkvqRV0XuvCZwyzOIJ00w_jWdU2YH-YFp07sdhJEqZ5q97lcr7AcQ2WXmYzWYF0g9PIt1VSJxqYcYYGKUlhUro0X1gcw1yVIxKaHrZShtsRaqppPlnOicmyOGjZNx87/s320/mangaru1.JPG




TARI LULO ALU ( buton )https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjSpNChSago5K7jsXp5cq_TL4pNXhBnmymnzmMEFiqWPsE5mgB8MGzpUZtAF5NUyNoSfhwUoNXXj3cx_yJyaSPl0pAEOOfcjrqxhlMxO85VtvsrZk4J6-jz7sSfll6Wv2huva50B7u8cER/s320/dsc_0053.jpg


Tari Lulo Alu yang merupakan tarian khas masyarakat Kabaena. Tarian ini dibawakan 12 penari yang dibagi atas dua peranan. Delapan penari putra memegang alu (Penumbu Padi) yang menggambarkan pria yang menumbuh padi dan empat orang penari perempuan memagang nyiru sebagai alat penapis beras, ditambah sapu tangan yang menggambarkan proses penapisan.Tari tersebut memiliki kaitan erat dengan Kesultanan Buton. Katanya, pada zaman dahulu Kabaena merupakan bagian dari Kesultanan Buton dan penghasil beras sebagai pilar penguat Kesultanan Buton yang jaya pada masanya. Oleh karena daerah tersebut merupakan penghasil beras yang sangat signifikan maka putra Kabaena berinisiatif menciptakan tari tersebut sebagai tarian yang melambangkan kesukuran kepada tuhan yang maha esa atas melimpahnya rezki dari hasil panen.Dilihat dari gerakan yang dilakukan penari, tari lulo alu sesungguhnya simbolisasi kepemimpinan. Pasalnya, gerakan yang digunakan sangat energik yang berarti untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan energi yang tinggi. Pakaian yang digunakan dalam tari tersebut merupakan ciri khas Kabaena yang memiliki kaitan erat dengan pakaian adat Buton. Misalnya dasar pakaian yang berwarna hitam ditambah warna kekuning-kuningan dan kemerah-kemerahan.Kabaena memang memiliki kaitan erat dengan Pulau Buton. Bahkan daerah ini memang sulit terpisahkan dengan Buton. 



TARI LUMENSE(BOMBANA)Lumense berasal dari kata Lume yang berarti terbang dan Mense yang berarti itinggi, jadi Lumense berarti terbang tinggi. Tarian ini berasal dari Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana. Makna dari tarian ini adalah pemujaan pada sang Dewa. Tarian ini dipersembahkan pada upacara penyambutan tamu pesta-pesta rakyat di Kabupaten Bombana.Tari Lumense, tari dari Poso yang merupakan tarian selamat datang untuk menyambut tamu agung.Tarian ini menampilkan sejumlah simbol perilaku sosial masyarakat tradisional di Kabaena, salah satu pulau besar setelah Buton dan Muna di Provinsi Sulawesi Tenggara. Klimaks dari tarian ini adalah sebagian penari menghunus parang tajam, lalu batang-batang pisang pun rebah ke tanah!http://budaya-indonesia.org/f/3010/tari.jpg

Tarian ini menampilkan sejumlah simbol perilaku sosial masyarakat tradisional di Kabaena, salah satu pulau besar setelah Buton dan Muna di Provinsi Sulawesi Tenggara. Klimaks dari tarian ini adalah sebagian penari menghunus parang tajam, lalu batang-batang pisang pun rebah ke tanah!Seperti kebanyakan seni tari tradisional yang masih orisinal, tarian lumense kurang mengeksplorasi tubuh melalui gerakan-gerakan yang dapat lebih mengekspresikan simbol-simbol keseharian masyarakat pendukung kesenian tersebut.Gerak para penari hanya mengandalkan gerakan dasar dengan dukungan irama musik dari tetabuhan gendang dan bunyi gong besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu). Namun, secara artistik, gerak tari lumense tetap memenuhi kriteria tontonan.Terdapat tiga penabuh gendang, tawa-tawa, dan ndengu-ndengu yang bertugas membunyikan instrumennya, sebaris penari, dan anakan pohon pisang dalam jarak tertentu. Jumlah pohon disesuaikan dengan jumlah pemain ”putra”.Kelompok penari lumense biasanya berjumlah 12 wanita muda: enam berperan sebagai pemain putra, dan sisanya sebagai putri. Semua pemain menggunakan busana adat Kabaena dengan rok berwarna merah maron. Baju atasnya hitam. Baju ini disebut taincombo, yang bagian bawah mirip ikan duyung.Khusus para penari lumense, taincombo dipadu dengan selendang merah. Kelompok putra ditandai adanya korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri. Parang atau ta-owu yang disarungkan di korobi dibuat khusus oleh pandai besi lokal dan selalu diasah agar matanya tetap tajam.Tarian ini diawali gerakan-gerakan maju mundur, bertukar tempat, kemudian saling mencari pasangan. Gerakan mengalir terus hingga membuat konfigurasi leter Z, lalu diubah lagi menjadi leter S. Pada tahap ini ditampilkan gerakan lebih dinamis yang disebut momaani (ibing).Pada saat itu tarian ini akan terasa amat menegangkan. Pasalnya, parang telah dicabut dari sarungnya dan diarahkan ke kepala penari putri sambil masih terus momaani. Dalam sekejap parang itu kemudian ditetakkan (ditebaskan) ke batang pisang. Dalam sekali ayun semua pohon pisang rebah bersamaan.Tarian lumense ditutup dengan sebuah konfigurasi berbentuk setengah lingkaran. Pada episode ini para penari membuat gerakan tari lulo, dengan jari yang saling mengait sedemikian rupa sehingga telapak tangan masing-masing saling bertaut, lalu secara bersama digerakkan turun-naik untuk mengimbangi ayunan kaki yang mundur-maju.Ada pula pihak-pihak yang menyebut tarian lumense tidak ramah lingkungan, itu hanya karena menampilkan adegan menebas pohon pisang. Namun, bagi masyarakat Kabaena, pohon pisang tidak bisa diganti dengan properti lain. Pasalnya, pohon pisang dipersonifikasikan sebagai bencana yang harus dicegah.Bencana bisa dalam bentuk banjir, tanah longsor, wabah penyakit, dan kerusuhan sosial. Maka, ketika pohon pisang telah rebah, artinya bencana telah dapat dicegah, dan warga pun akan hidup dalam suasana yang aman dan tenteram. 


TARI LARIANGI( wakatobi )Tari Lariangi merupakan bentuk tarian hiburan bagi masyarakat Wakatobi, tarian ini biasanya dimainkan oleh dua belas orang gadis remaja desa setempat. Tarian ini sangat eksotik terutama kostumnya. Nama kostum tarian ini sama dengan nama tarian yaitu Lariangi. Tarian ini dilakukan sambil bernyanyi. Dahulu tarian ditampilkan untuk menyambut para tamu kerajaan.
Dulunya, Lariangi dimainkan di istana raja yang berfungsi sebagai penerangan. Karena itu, Lariangi diwujudkan dalam gerakan dan nyanyian. Mereka bernyanyi dengan menggunakan bahasa Kaledupa kuno. Saat ini, bahasa ini sudah tidak dipergunakan dalam percakapan sehari-hari.
Lariangi terdiri dari dua suku kata. Lari dan Angi. Lari berarti menghias atau mengukir. Angi berarti orang-orang yang berhias dengan berbabagai ornamen untuk menyampaikan informasi, dengan maksud untuk memberikan nasehat. Bisa juga menjadi hiburan dengan gerakan tari dan nyanyian.
Sebagai perwujudan dari Lari adalah pakaian para penari yang terdiri dari kain, manik-manik, hiasan sanggul, logam berukir untuk gelang, kalung, dan hiasan sarung. Misalnya saja, hiasan sanggul yang dinamakan pantau seperti sebuah radar. Atau hiasan rambut yang rumit sekali membuatnya. Hanya orang tertentu yang bisa membuat hiasan rambut ini. Angi diwujudkan dalam bentuk gerakan dan nyanyian.
Tari ini bedurasi 10 menit. Selama sepuluh menit in, kami akan melihat sepuluh orang perempuan cantik menari dan bernyanyi. Tarian didominasi oleh gerakan duduk dan melingkar dengan mengibaskan lenso atau kipas.
Klimaks tarian ini ada di akhir. Yaitu gerakan yang dinamakan dengan nyibing. Nyibing dilakukan oleh dua orang penari lelaki. Mereka menari mengelilingi dua orang penari perempuan. Ini mengandung maksud, para lelaki, dalam kondisi apapun harus tetap melindungi para perempuan.https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPRj8jwPp9DJO8oFAmFi7A3DIg31lbh_qQyxWU9qmFyfVvy-f1IL_aM3regSqMNiPkQMdtRMUe2Lj5xa4jS4Pk_E9MONo7OBk3TuC15PUhRxBJSb9b2poEnfQ0fgpXMH-vo7vOGfF4_kPG/s320/file18.jpg  


Tari Modinggu ( kolaka )Menurut mitos masyarakat tolaki padi itu berasal dari jasad putri bidadari yang ketujuh yang mana turun kebumi. Setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa masyarakat Tolaki mengadakan sejenis Pesta Rakyat yang akan dihadiri oleh seluruh masyarakat yang berada ditempat itu.Untuk memperoleh beras yang cukup banyak maka diadakanlah MODINGGU, atau semacam pekerjaan massal untuk menumbuh padi yang dilakukan muda-mudi dikala senja sampai malam hari yang diterangi oleh sinar rembulan, dan akhiri lulo bersama guna melepas lelah setelah seharian bekerja keras.Walaupun proses menumbuk padi merupakan pekerjaan melelahkan  namun pemuda/pemudi enjoy mengerjakan. Dinggu merupakan sentuhan alu yang dimainkan oleh pemuda/ pemudi sehingga membentuk alunan irama yang begitu indah untuk didengar serta gerakan yang cukup unik dinamis lincah dan enerjit nuansa keindahan  gerakan tersebut di aplikasikan melalui tarian yang disebut tari modinggu. Tarian ini mewakili Sulawesi Tenggara dalam ajang Festival Kemilau Sulawesi 2007 Di Manado Sulawesi Utara sekaligus mendapat penghargaan sebagai tarian berpenampilan terbaik pada Festival Kemilau Sulawesi  tersebut.tari modinggu